Kamis, 03 September 2015

Hari Suram Roglik

Cerpen saya yang dimuat di majalah Cahaya Nabawy, edisi 104/1 april 2012, dengan judul asli Hari Suram Roglik yang kemudian diedit oleh redakturnya. Semoga bermanfaat :)





Suasana pertemuan itu nampak meriah. Banyak asap mengepul membentuk rupa-rupa tiga dimensi yang menandakan sebuah wana diri. Ada yang serius bicara tentang trik-trik politik dan ada yang berjibaku dengan gosip-gosip romantis dalam rumpi ringan bersanding cemilan asam manis.

Di kursi besar berbahan rotan bersepuh emas itu terlihat tuan besar Dasim sedang sibuk membuka-buka lembaran data statistik yang baru saja dilaporkan beberapa rekannya.  Tampak beberapa kerutan di kening dan kulit sebelah tanduknya.

Beberapa rekan duduk melingkar di sebelah.  Sama menunggu untuk menyimak petuah-petuah yang akan diberikan oleh tuan Dasim.

“Pencapaianmu lumayan, Solman... daerah barat sudah bertabur coklat dan muffin yang melenakan mereka. Hahaha... “ tawa suka cita merekah dengan puas.

“Harus semakin ditambah produksi muffin dan coklat untuk dipasok kedaerahmu, jangan lupa ajak lebih banyak pekerja...  tapi jangan lupa untuk terus mencari kreatifitas baru. Soalnya mereka cucu cicit musuh kita suka cepat bosan dan mencari trend baru... “ sosok yang dipanggil Solman itu mengangguk takdhim.

Sajak Benang Kapas

Ada sajak ….
Dimana lembar rajutan benang kapas
Menjadi sebuah bunga rampai
Pelindung identitas

Menjadi jendela kaca
Bagi sang anggrek bulan
Bahkan …
Menjadi duri untuk sang mawar

Sajak itu …
Mengapa kini bersolek dengan zaman?
Zaman …
Yang telah menghempasnya jadi orang
Hingga kaca pun retak
Bunga … tak lagi mutiara

Gerai hitam rambut
Lambai jilbab lembut
Mengapa kini
Menjadi bingkai gambar yang sama

Peri Negeri Matahari

Pertama kalinya lolos menembus media, luar biasa rasanya...
Inilah karya itu, 

Gambar berasal dari : http://www.kidnesia.com/
Lampung post, Januari 2011



Alkisah di sebuah negeri peri. Penduduknya dinamakan para peri negri matahari. Mereka adalah para peri yang selalu bersemangat menyambut pagi. Mereka juga selalu tersenyum ceria mengisi hari untuk belajar berbagai ilmu pengetahuan. Maka tak heran jika seluruh penduduk dari negri matahari terkenal pintar dan selalu punya kelebihan yang mengagumkan

 Tetapi hari itu ada seorang peri kecil yang sedang menangis di tepi danau biru. Dia terlihat sangat sedih. Dan karena tidak ada seorang pun di sekelilingnya, maka dia menceritakan keluh kesahnya pada air danau dan ikan-ikan yang sedang berenang di dalamnya.


“Hai ikan... kenapa aku tidak bisa seperti orang tuaku. Padahal setiap hari aku selalu belajar dengan giat...” peri kecil itu diam. Menyadari bahwa dia sedang berbicara sendiri. Namun kemudian dia melanjutkan berkeluh kesah. Paling tidak dia akan merasa lega dan tidak merasa malu karena tidak seorang pun yang melihat.

“Ayahku seorang pemain biola yang hebat, dan ibuku penari yang juga sangat hebat.. mereka berdua sering diundang ke istana peri untuk menggelar pertunjukan.. tapi kenapa aku tidak bisa seperti mereka. Belajar biola sungguh rumit, begitu juga menari... aku memang sangat bodoh... hiks.. hiks...” peri kecil itu kembali menangis.